PPP yang berdiri pada 5 januari 1973 pada awalnya merupakan sebuah fusi dari partai Islam yakni Nahdlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Islam PERTI.
Dalam perkembangan lebih lanjut, kebijakan politik Orde Baru mengharuskan partai-partai di Indonesia untuk menerapkan asas Pancasila. Perkembangan ini memang tidak sejalan dengan tujuan awal pendirian PPP yang telah menegaskan dirinya sebagai Partai Islam. Dengan demikian jelas bahwa perubahan PPP menjadi Partai berideologi sekuler pada Orde Baru hanyalah untuk mensiasati sebuah kebijakan pemerintah, meskipun sejatinya jati diri PPP adalah berasaskan Islam.
Kemudian dalam Muktamar ke IV di Pondok Gede tahun 1999, PPP melakukan sejumlah perubahan mendasar, baik menyangkut sisi internal partai, seperti pergantian tanda gambar (dari Bintang ke Ka’bah), maupun Islam sebagai asas partai (menggantikan Pancasila). Kedua langkah ini sangat penting dan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perjalanan PPP sebagai partai Islam.
Kedua langkah perubahan tersebut sangat penting dan mendasar, yang menegaskan bahwa PPP siap memainkan peran baru di pentas perpolitikan Indonesia, khususnya setelah tumbangnya Orde Baru. Sisi lainnya adalah upaya PPP untuk mengidentifikasikan diri sebagai Partai Islam dalam sebuah negara yang plural. Selain itu, perubahan PPP ke jatidirinya, menegaskan PPP sebagai partai politik modern dengan sifat-sifat dan basis konstituen yang khas, sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban dari amanah dan tugas yang diemban para pelaku politik di internal PPP terhadap cita-cita para pendiri partai untuk bersatu dan lebih meningkatkan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara dalam pola perjuangan yang selalu mengedepankan Amar Ma’ruf Nahyi Munkar, memelihara akhlaqul karimah serta senantiasa berupaya menegakan kebenaran dan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan.
Melihat realitas kultur politik bangsa kita saat ini, terjadi kondisi yang cukup menggembirakan, dimana telah terlahirnya konsep kedewasaan berpolitik dikalangan masyarakat. Masyarakat sudah semakin cerdas dalam merealisasikan hak politiknya, tidak mudah diagitasi dan dimobilisasi demi kepentingan politik tertentu.
Hal ini tentu saja harus disikapi positif oleh elite politik dan partai politik dengan semakin meningkatkan kemampuannya dalam menyerap aspirasi rakyat. Rakyat sudah semakin dewasa sehingga partai politik mau tidak mau harus semakin bekerja keras dalam mewujudkan aspirasi rakyat. Pemilih juga semakin rasional sehingga tidak lagi terpaku pada kepentingan dan kedekatan ideologis tetapi sudah semakin pragmatis. Ini menjadi tantangan serius bagi partai politik yang masih mengandalkan kekuatan ideologis dan primodialisme serta kelompok dalam menggalang kekuatan pemilih.
Bagi PPP, Islam bukanlah hanya sekedar ideologi yang dijadikan simbolistik, tetapi yang terpenting bagaimana membangun bentuk aktualisasi ideologi Islam tersebut dalam perjuangan partai. Aktualisasi ideologi Islam mengandumg unsur substantif alias idealisme yang dieksplorasi dari ajaran-ajaran Islam yang kemudian menjadi nilai-nilai dasar (basics values) yang mesti dipegang teguh oleh para kadernya.
Dalam konteks ini, nilai-nilai dan ajaran Islam dijadikan bahan rujukan utama untuk memutuskan kebijakan politik. Oleh karenanya diharapkan setiap keputusan politik diambil, harus mencerminkan dan merefleksikan normatifitas ajaran Islam.
Jati diri dan citra positif partai Islam ini dapat dilihat dari sudut pandang kemampuannya dalam menjalankan fungsinya sebagai partai politik. Realitas sosial Indonesia menunjukan bahwa umat Islam merupakan pemeluk mayoritas, sehingga dirasakan perlu artikulasi aspirasi politik yang tepat. Artinya, bagaimana Islam yang merupakan agama mayoritas mempunyai akses dalam pengambilan kebijakan dan memperoleh representasi yang wajar dan proporsional sesuai dengan potensi dan prinsip-prinsi demokrasi.
Munculnya pandangan semacam itu dianggap sebagai hal wajar dalam negara demokrasi. Eksistensi partai Islam juga sama dengan partai politik lainnya, yang diantara tujuannya adalah untuk meraih kekuasaan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Meskipun demikian agama diharapkan tidak kehilangan peran kritis dan watak kontekstualnya, seperti menerima kenyataan pluralisme serta mendorong perubahan secara demokratik dan pemecahan masalah secara inklusifistik.
Cita-cita (kekuasaan) yang ingin dicapai hanyalah salah satu cara dalam menentukan strategi perjuangan untuk mengangkat derajat bangsa secara keseluruhan. Partai Islam sepenuhnya berpijak pada kenyataan sosial yang ada seperti konstruksi masyarakat yang plural. Pijakan sosial ini sangat penting dan perlu ditegaskan sehingga pertautan antara cita-cita dan harapan (kekuasaan) tidak lagi menjadi kontra produktif.
Dengan demikian jelas bahwa perubahan yang bersifat substantif dan simbolik bukanlah sekedar manuver politik PPP untuk mempertahankan konstituen partainya, ditengah fenomena banyaknya partai-partai yang mengeksplorasi syombol Islam. Dan inipun sebagai langkah positif PPP dalam mengaktualisasikan ideologi Islam dalam kancah perpolitikan Indonesia saat ini.